Mimpi
Lagi-lagi ku menatap lekat-lekat
senja di luar jendelas kamarku. Ku ingin sekali bercerita pada senja. Ini
tentang sebutir rasa yang akan ku ukir indah di lubuk hati yang paling dalam.
Tapi, ku tak ingin siapapun tahu, bahkan ilalang tua sekalipun. Senja, aku
sedang menahan rasa pada rupa menawan itu. Apakah kamu tahu apa yang ku rasa?
Ya! Aku menyukainya, dia, teman sebaya mempesona.
Entah sampai kapan aku harus menahan rasa karena aku tahu wanita
tak ditakdirkan untuk memulai, tetapi menunggu. Apapun yang aku lakukan, apapun
yang aku perbuat, tidak ada jeda sedikitpun untuk aku tak memikirkan mu. Aku
seperti merasakan kau hidup dalam diriku. Kau mengisi ruang kosong di hatiku.
Benar-benar seperti nyata. Entah mengapa saat ku memikirkanmu selalu masa depan
yang ikut ku bayangkan. Masa depan itu selalu mengikuti mu. Mengikutimu dalam
fikiranku. Tapi di satu sisi, aku menyadari bahwa tak hanya aku yang kau buat
seolah-olah meleleh. Seolah-olah menjadi kaku, kikuk, panas dingin, dan benar-benar
kau hipnotis. Kau hipnotis semua orang dengan caramu bicara, caramu bertindak,
caramu mengatur mimik, dan bahkan cara bernafasmu pun. Begitu pandai dan lihai
nya kau memberikan itu semua kepada semua orang. Tapi mengapa aku yang menjadi
korban mu. Mengapa aku yang harus jadi kutub selatan yang tertarik kutub utara
mu. Walaupun pada kenyataannya tak hanya aku.
Cinta yang selama ini ku rasa benar-benar indah dan suram. Kedua
kata itu memang satu paket datangnya. Saat kita benar-benar menikmati rasa
indah itu, kita harus siap karena rasa indah itu akan hilang begitu saja karena
suram yang memakan keindahan itu. Tapi mengapa orang yang ku cinta selalu tak
sependapat dengan apa yang ku rasa.
Lagi-lagi ku sedu secangkir
cappucino dan tanpa sadar tinggal satu sendok teh lagi. Ternyata secangkir
cappucino ini benar-benar seperti apa yang ku rasa. Saat benar-benar menikmati
rasanya, tanpa sadar akan habis. Seperti rasaku yang aku tahu akan hilang
dimakan waktu, karena aku tahu dia bukan siang dan aku bukan malam yang akan
bertemu di saat senja. Tapi dia seperti langit dan aku seperti tanah yang
selamanya tak akan bisa bertemu dan menyatu. Tapi, itu semua tak mengurungkan
niat ku untuk berhenti berharap. Walaupun tak ada celah sedikitpun untuk
mengisi lubang kosong di hatimu itu.
“Kak, dicari temen kakak tuh! Dia
nunggu di bawah.” Suara itu menyadarkan ku akan lamunan yang benar-benar jauh
dari angan. Tanpa berfikir lebih lama, aku segera menyusul adikku yang belum
lama menghilang dari balik pintu kamarku.
“Siap?” Suara pria mempesona itu
benar-benar mengagetkanku. Bagaimana bisa dia di sini?
“Hah?
Kemana? Kok nggak sms dulu?” Sahutku dengan nada sangat kaget.
“Bengong aja sih kamu. Udah aku sms
berkali-kali tapi nggak kamu bales juga. Ayo buruan ganti baju. Temenin aku
cari sesuatu buat Sean. Besok dia kan balik dari Surabaya.” Ucap Fandi dengan
semangat.
“Masih ngarep aja? Cari cewek lain
kek. Dia mulu. Sadar! Kamu itu dibodohkan oleh cinta.” Sahutku sedikit kesal.
“Bodo amat. Udah cepetan!” Fandi
mengucapkannya dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
Tanpa menjawab perintahnya, aku
bergegas menuju kamar dan mengganti pakaianku. Hati dan fikiranku benar-benar
bicara sekarang. Mengapa begitu bodohnya dia menunggu seseorang yang dengan
jelas menyia-nyiakan nya. Mengapa dia tak sedikitpun menoleh ke orang yang
selama ini dengan jelas memperhatikannya. Tapi lagi-lagi aku yang lebih bodoh.
Mengapa masih saja aku bertahan pada seseorang yang sudah jelas memberikan
cintanya pada orang lain.
“Sebenarnya kita mau kemana sih? Itu
juga udah beli bunga. Mau beli apa lagi?” Ucapku sedikit kesal.
“Akhirnya sampai juga. Turun!”
Ucapnya dengan wajah yang selalu membuatku meleleh.
“Oh, survey tempat buat Sean besok
ya? Jadi besok kamu ngajakin dia kesini? Indah banget ya? Melting banget deh dia
pasti.” Dengan senyum lebar ku ucapkan dengan sangat tulus.
“Emm, sebenarnya, bunga ini buat
kamu. Selama ini aku memendam berjuta-juta rasa. Sekarang aku nggak butuh Sean.
Yang aku butuh hanya kamu. Kamu yang selalu ada buat aku.” Kata-kata Fandi begitu
membiusku. Aku serasa ada di surga. Apa benar yang dikatakannya?
“Kamu serius?” Tanyaku dengan nada
sama sekali tak percaya.
“Ibu nganterin adik kamu dulu ya? Cepetan
mandi! Udah siang.” Suara ibu terdengar dari balik pintu kamarku. Sial!
Ternyata itu semua hanya mimpi. Satu hal yang seharusnya aku tancapkan
erat-erat di benakku yaitu, tak mungkin selamanya aku bersama pria mempesona
yang menghiasi mimpi indah ku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar