Jumat, 19 Juli 2013

Cerpen

Mimpi

         Ku pandangi suasana senja di luar jendela kamarku, dengan perasaan dan fikiran yang tak yakin entah berlari kemana, mengingatkanku akan rupa yang menawan. Ku urungkan niat untuk membuka novel ini lagi. Aku lebih nyaman dengan bayang-bayang semu itu. Ku angkat pelan-pelan bibir tipis ini, bersamaan dengan secangkir cappucino. Ku sedu sedikit demi sedikit. Dan aku mulai menyadari bahwa rasa cappucino itu sama seperti rasa yang ku pendam kepada wajah menawan itu. Lezat, nyaman, dan membuatku kecanduan.
           Lagi-lagi ku menatap lekat-lekat senja di luar jendelas kamarku. Ku ingin sekali bercerita pada senja. Ini tentang sebutir rasa yang akan ku ukir indah di lubuk hati yang paling dalam. Tapi, ku tak ingin siapapun tahu, bahkan ilalang tua sekalipun. Senja, aku sedang menahan rasa pada rupa menawan itu. Apakah kamu tahu apa yang ku rasa? Ya! Aku menyukainya, dia, teman sebaya mempesona.
Entah sampai kapan aku harus menahan rasa karena aku tahu wanita tak ditakdirkan untuk memulai, tetapi menunggu. Apapun yang aku lakukan, apapun yang aku perbuat, tidak ada jeda sedikitpun untuk aku tak memikirkan mu. Aku seperti merasakan kau hidup dalam diriku. Kau mengisi ruang kosong di hatiku. Benar-benar seperti nyata. Entah mengapa saat ku memikirkanmu selalu masa depan yang ikut ku bayangkan. Masa depan itu selalu mengikuti mu. Mengikutimu dalam fikiranku. Tapi di satu sisi, aku menyadari bahwa tak hanya aku yang kau buat seolah-olah meleleh. Seolah-olah menjadi kaku, kikuk, panas dingin, dan benar-benar kau hipnotis. Kau hipnotis semua orang dengan caramu bicara, caramu bertindak, caramu mengatur mimik, dan bahkan cara bernafasmu pun. Begitu pandai dan lihai nya kau memberikan itu semua kepada semua orang. Tapi mengapa aku yang menjadi korban mu. Mengapa aku yang harus jadi kutub selatan yang tertarik kutub utara mu. Walaupun pada kenyataannya tak hanya aku.
Cinta yang selama ini ku rasa benar-benar indah dan suram. Kedua kata itu memang satu paket datangnya. Saat kita benar-benar menikmati rasa indah itu, kita harus siap karena rasa indah itu akan hilang begitu saja karena suram yang memakan keindahan itu. Tapi mengapa orang yang ku cinta selalu tak sependapat dengan apa yang ku rasa.
          Lagi-lagi ku sedu secangkir cappucino dan tanpa sadar tinggal satu sendok teh lagi. Ternyata secangkir cappucino ini benar-benar seperti apa yang ku rasa. Saat benar-benar menikmati rasanya, tanpa sadar akan habis. Seperti rasaku yang aku tahu akan hilang dimakan waktu, karena aku tahu dia bukan siang dan aku bukan malam yang akan bertemu di saat senja. Tapi dia seperti langit dan aku seperti tanah yang selamanya tak akan bisa bertemu dan menyatu. Tapi, itu semua tak mengurungkan niat ku untuk berhenti berharap. Walaupun tak ada celah sedikitpun untuk mengisi lubang kosong di hatimu itu.
          “Kak, dicari temen kakak tuh! Dia nunggu di bawah.” Suara itu menyadarkan ku akan lamunan yang benar-benar jauh dari angan. Tanpa berfikir lebih lama, aku segera menyusul adikku yang belum lama menghilang dari balik pintu kamarku.
           “Siap?” Suara pria mempesona itu benar-benar mengagetkanku. Bagaimana bisa dia di sini?
           “Hah? Kemana? Kok nggak sms dulu?” Sahutku dengan nada sangat kaget.
            “Bengong aja sih kamu. Udah aku sms berkali-kali tapi nggak kamu bales juga. Ayo buruan ganti baju. Temenin aku cari sesuatu buat Sean. Besok dia kan balik dari Surabaya.” Ucap Fandi dengan semangat.
          “Masih ngarep aja? Cari cewek lain kek. Dia mulu. Sadar! Kamu itu dibodohkan oleh cinta.” Sahutku sedikit kesal.
           “Bodo amat. Udah cepetan!” Fandi mengucapkannya dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
           Tanpa menjawab perintahnya, aku bergegas menuju kamar dan mengganti pakaianku. Hati dan fikiranku benar-benar bicara sekarang. Mengapa begitu bodohnya dia menunggu seseorang yang dengan jelas menyia-nyiakan nya. Mengapa dia tak sedikitpun menoleh ke orang yang selama ini dengan jelas memperhatikannya. Tapi lagi-lagi aku yang lebih bodoh. Mengapa masih saja aku bertahan pada seseorang yang sudah jelas memberikan cintanya pada orang lain.
            “Sebenarnya kita mau kemana sih? Itu juga udah beli bunga. Mau beli apa lagi?” Ucapku sedikit kesal.
            “Akhirnya sampai juga. Turun!” Ucapnya dengan wajah yang selalu membuatku meleleh.
          “Oh, survey tempat buat Sean besok ya? Jadi besok kamu ngajakin dia kesini? Indah banget ya? Melting banget deh dia pasti.” Dengan senyum lebar ku ucapkan dengan sangat tulus.
            “Emm, sebenarnya, bunga ini buat kamu. Selama ini aku memendam berjuta-juta rasa. Sekarang aku nggak butuh Sean. Yang aku butuh hanya kamu. Kamu yang selalu ada buat aku.” Kata-kata Fandi begitu membiusku. Aku serasa ada di surga. Apa benar yang dikatakannya?
            “Kamu serius?” Tanyaku dengan nada sama sekali tak percaya.
             “Ibu nganterin adik kamu dulu ya? Cepetan mandi! Udah siang.” Suara ibu terdengar dari balik pintu kamarku. Sial! Ternyata itu semua hanya mimpi. Satu hal yang seharusnya aku tancapkan erat-erat di benakku yaitu, tak mungkin selamanya aku bersama pria mempesona yang menghiasi mimpi indah ku itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar