“Apa? Jadi kamu kemarin pergi sama Adit?” Cetus Lisa.
“Wah, kejam ya loe! Nggak datang kelompok cuma gara-gara si Adit.” Sahut Rere.
Wajah Brilin tampak lesu karena diomeli oleh teman-temannya. Sedangkan Maria sibuk dengan cincin barunya yang nggak jauh beda dengan cincin Tesi.
“Aku minta maaf ya! Bukanya aku nggak peduli sama kalian dan pelajaran. Tapi Adit jarang-jarang ngajakin aku jalan. Aku kan jadi sungkan mau nolak. Aku janji deh, kejadian seperti ini nggak akan terulang lagi.” Ucap Brilin dengan semangat.
“Ya udah deh, kita maafin. Beneran loh? Kita pegang omonganmu.”
“Omongan nggak bisa dipegang lah, cobain deh kalau nggak percaya!” Sahut Brilin
“Hih, maksud gue, janji loe! Beneran bisa dibuktikan nggak?” Ucap Rere dengan nada sedikit tinggi.
“Iya iya. Sumpah tekewer-kewer deh!”
Perbincangan mereka usai ketika bel masuk sekolah berdering. Mereka mengikuti pelajaran pertama dengan ceria.
Ke esokan harinya, kelas 2 IPS 6 dikagetkan oleh berita yang sangat HOT (kopi kali). Pengen tahu beritanya apa? Beritanya adalah si Brilin berubah menjadi laki-laki. Nggak ding, si Brilin ditembak sama Boby anak kelas 2 IPS 4. Padahal selama ini Boby nggak memberi tanda-tanda kalau dia suka sama Brilin. Dan yang lebih mengagetkan lagi, Boby itu idola hampir seluruh anak SMA Victory. Jadi, para penggemar Boby tidak mungkin terima atas keputusan Boby. Dan tak heran, jika Brilin ingin menerima tawaran boby tersebut.
“Gila loe? Yang bener aja! Loe selalu gitu deh. Nggak pikir-pikir dulu sebelum bertindak!” Celetus Rere.
“Ia ni. Walaupun si Boby aktor di SMA kita, tapi bukan berarti kamu langsung terima tawaran dia kan? Kalau kamu nanti dibuat mainan bagaimana? Kan kita juga yang repot.” Tumben-tumbennya Maria berkomentar.
“Sudah-sudah! Seseorang memang berhak jatuh cinta. Itu tindakan yang wajar. Setiap orang pasti pernah merasakannya. Kita semua nggak melarang kamu untuk jatuh cinta ataupun pacaran. Tapi kita cuma ngingetin kamu. Berzina termasuk 5 dosa terbesar. Dan pacaran termasuk hal yang mendekatkan kita untuk berzina.”
Mereka semua terdiam. Karena sedang asik mendengarkan ceramah dari Lisa.
“Aku juga tahu itu. Aku akan pacaran secara sehat kok. Sekarang ini, mana jaman si anak SMA nggak pacaran? Semua pada punya gebetan sendiri-sendiri. Apa lagi sama aktor sekolah kita. Nggak mungkin nolak!”
“Loe dibilangin nggak percayaan amat sih? Mereka semua yang pada punya pacar tu nggak mikir. Gimana kalau dia udah dewasa nanti. Haduhhhh, yang dipikirin tu cuma have fun doang! Lagian apa untung nya sih punya pacar? Paling kalau udah patah hati nangis. Ah, basi tau!” Olok Rere.
“Punya pacar tu enak tau! Bisa manja-manja’an, ada yang merhati’in, bisa nraktir kalau lagi bokek, bisa ditemenin kemana aja, pokok nya seru deh! Biarin aja nangis, ntar juga sembuh ndiri kok!”
“Emang ortu kamu belum cukup ya? Kita-kita? Masih banyak cuy. Kamu baru menyadari setelah ortu kamu nggak ada. Kamu belum manja in mereka, kamu belum hormat sama mereka, banyak salah sama mereka, apalagi kalau backstreet. Haduhh, tambah banyak tuh dosa! Lagian kalau punya pacar tu nggak bisa bebas. Main sama cowok ini, cemburu. Cowok itu, cemburu. Nggak bisa leluasa dong! Pacaran tu ntar aja pas kamu udah mau kawin. Kita cuma ngingetin aja. Daripada kamu sayang-sayangan sama orang lain, mendingan sama ortu kamu dan kita-kita, ya nggak? Selain menghindarkan dari zina juga mempererat tali persaudaraan kita! Manfaatnya banyak tu!”
“Panjang amat loe mar ceramah nya? Sekali ceramah aja panjang nya kayak kereta gajahyana disambung sama kereta mini, hehe. Tapi gue setuju sama pendapat loe! Bener tu lin!”
“Kok kamu nyangkut-nyangkutin sama ortu ku? Udah deh, itu urusan ku, nggak usah ikut-ikut! Urus saja urusanmu sendiri!”
“Udah deh Re, Mar, kita pulang yuk! Daripada memperpanjang masalah. Kita cuma ngingetin aja. Sepenuhnya itu hak Brilin. Sesama muslim kan harus saling ngingetin. Yaudah deh lin, kita balik duluan ya!” Ucap Lisa dengan lembut.
Rere melirik Brilin dengan pandangan yang tak enak dan buru-buru pergi. Sedangkan Brilin termenung sendiri. Ia berfikir ucapan sohibnya tadi benar. Tapi disisi lain, dia juga ingin punya pacar selayaknya anak remaja lainnya. Sekarang bingung deh si Brilin.
“Halo, Lis! Aku bingung nih. Omongan Maria tadi ada benarnya juga, tapi disisi lain aku juga ingin seperti anak remaja lainnya. Ada solusi nggak? Ehm, sebelumnya sorry ya masalah tadi. Kelihatannya aku tadi ngomong nya kurang sopan deh sama kalian. Nggak marah kan?”
“Ooo, kirain ada apa malam-malam gini telepon. Nggak kok lin, aku gak marah, aku sudah maklumin kamu. Gini ya lin, kalau aku nyaranin sebaiknya kamu jangan pacaran dulu deh. Selain mendekatkan kamu untuk berzina, itu juga dapat mempengaruhi nilai kamu! Daripada menyesal nantinya? Mendingan dicegah dan disadari mulai sekarang. Ya nggak?”
“Betul juga sih, belum tentu juga si Boby orang nya baik dan setia.”
“Nah, itu tahu! Jangan main gengsi saja. Toh, tanpa gengsi kamu juga tetep bisa hidup kan? Sekarang pikirin masa depan kamu dulu saja! Biar pas tua kamu nggak repot. Masalah cowok belakangan saja. Kita tetep akan temenin kamu kok. Tenang saja!”
“Iya deh Lis, thanks ya! Aku ngantuk mau tidur dulu. Tapi sebelum itu, aku mau mutusin Adit dulu. Doain aku ya!”
“Loh, mutusin Adit? Kamu sudah jadian sama Adit?”
“Hah? Maksud kamu?” Brilin kaget, dia tidak menyadari bahwa ia tadi keceplosan.
“Tadi kamu bilang kamu mau mutusin Adit. Emang kamu sudah jadian sama dia? Kok kamu nggak pernah cerita?”
“Ehm, iya Lis. Aduh, maaf ya! Aku takut kalian marah sama aku. Maaf Lis. Sumpah aku nggak ada niat macam-macam sama kalian. Aku takut kalau kalian jauhin aku.” Jelas Brilin kepada Lisa.
“Aduh Brilin. Kalau anak-anak tahu mereka pasti marah. Kalau aku sih nggak masalah. Terus anak-anak gimana?”
“Gimana ya Lis? Ehm, jangan kasih tahu mereka ya? Cukup kita berdua yang tahu. Ya ya? Plissssss.” Pinta Brilin
Lisa mulai bingung. Jika dia tidak memberi tahu Retno dan Maria, dia merasa bersalah pada mereka. Tapi, jika dia memberitahu Retno dan Maria, dia merasa bersalah pada Brilin. Lisa mulai memutar otaknya. Dia berfikir secara cermat. Dan tanpa iya sadari, telepon yang ia pegang berbunyi sendiri. Ternyata, Brilin berteriak-teriak sedari tadi.
“Lis, Lis. Lisa. Lisa. Lisssaaaaa….. Kamu masih di situ kan? Lisa? Liisssaaa…”
“Apa? Iya? Aku? Aduh, sorry sorry. Ehm, iya iya. Aku nggak akan ngomong ke Rere dan Maria. Asalkan kamu jangan buat ulah lagi. Ini yang terakhir kalinya. Oke?” Sahut Lisa
“Alhamdulillah, iya Lis. Makasih banyak ya? Aduh, aku jadi merasa bersalah sama kalian semua. Aku janji ini masalah terakhir yang pernah aku buat.”
“Iya, sama-sama. Iya sudah, buruan tidur! Besok bersikap biasa dengan anak-anak. Jangan tonjolkan sikap gugup kamu. Terus, kamu jelasin sendiri tentang Boby ke anak-anak. Jangan lupa minta maaf atas sikap kamu kemarin. Siapa tahu mereka masih keberatan.”
“Iya Lis, makasih banyak. Nice dream ya! Good Night!”
“Yap”
Akhirnya masalah Brilin dan kekasih-kekasihnya pun usai. Walaupun menyimpan sedikit rahasia. Namun, itu sangat berarti bagi Brilin.
By : Dilla Saezana